Oleh : Fikri Haekal Akbar (Staf Biro Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Rayon FTK UIN Antasari Banjarmasin)
Salam penutup adalah salam yang diucapkan pada saat akhir penutup surat, juga bisa diucapkan pada saat menutup akhiran pembicaraan atau berpidato.
Sering kali kita mendengar dan melihat warga Nahdliyyin mengakhiri ceramah atau surat-menyurat keagamaan dengan kalimat “Wa billahit taufiq wal hidayah” atau “Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Tharieq” yang diucapkan atau ditulis sebelum salam penutup.
Apa sih itu Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Tharieq?
Secara harfiah, kalimat Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Tharieq adalah “Allah adalah Dzat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya.” Kalimat penutup ini diciptakan oleh KH Ahmad Abdul Hamid dari Kendal, Jawa Tengah.
Sebelum menciptakan kalimat Wallahul muwaffiq ila aqwamit-tharieq, Kiai Ahmad telah menciptakan istilah Billahi taufiq wal-hidayah. Namun karena Billahi taufiq wal hidayah kemudian digunakan oleh hampir semua kalangan umat Islam, maka ia merasa kekhasan untuk orang NU tidak ada lagi.
Untuk itu beliau menciptakan istilah baru, Wallahul muwaffiq ila aqwamit tharieq yang dirasakan cukup sulit ditirukan oleh orang non-NU. Jadi Billahi Taufiq Wal Hidayah itu juga karya kiai NU.
KH Ahmad Abdul Hamid adalah salah satu ulama kharismatik di Jawa Tengah. Ia merupakan pengasuh Pondok Pesantren al-Hidayah dan Imam Masjid Besar Kendal. Karena peran dan ketokohannya, masyarakat Kendal menyebutnya sebagai “Bapak Kabupaten Kendal”.
Kisah salam khas ini pernah menjadi guyonan dalam acara peringatan hari lahir (Harlah) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ke-46. Sejumlah tokoh nasional yaitu Angkatan ’66 dan ratusan kader PMII berhadir dalam acara yang digelar di Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Gus Dur, dalam sambutannya, menegaskan tentang komitmen ke-indonesiaan dan kebangsaan dengan cara mengawal terus Indonesia dengan Islam ala Indonesia.
Setelah berbicara panjang lebar, Gus Dur bermaksud menutup pidatonya dengan ucapan “Wabillahi taufiq wal hidayah“, tetapi tiba-tiba Gus Dur diam sejenak. “Saya kok mau salah menyampaikan salam penutup, harusnya kan yang khas NU,” jelas cucu pendiri NU ini.
“Dulu ulama-ulama NU, sepakat menggunakan wabillahi taufiq wal hidayah untuk ucapan penutup acara nahdlyiin (warga NU) wajib mengikuti. Tapi setelah musim kampanye pemilu tahun 70-an, Golkar memakai ucapan itu untuk menutup setiap pidato kampanyenya,” ungkap Gus Dur.
Nah setelah itu, lanjut Gus Dur, para ulama NU sepakat menggantinya dengan yang lain. Muncul ide agar diganti dengan “wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq” dari seorang Kiai kharismatik asal Magelang lalu dipakailah hingga kini.
“Jadi Golkar minjem “wabillahi taufiq wal hidayah” dari NU dan sampai sekarang belum dikembalikan,” kata gusdur diiringi gelak tawa hadirin.
“Untuk itu saya akhiri dengan wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq,” begitu Gus Dur menyudahi acara.
Penggunaan kalimat salam penutup ini sangat populer dikalangan warga pergerakan, bahkan identitas salam penutup ini sangat melekat di kalangan PMII. Siapapun yang mengucapkan salam ini dikalangan mahasiswa, sudah banyak yang dapat menebak bahwa ia kalangan PMII sekalipun bukan.
Karena pada dasarnya, PMII masih melekat dengan kultur Nahdliyyin. PMII juga punya persamaan-persamaan persepsi keagamaan dan perjuangan, visi sosial dan kemasyarakatan, serta mempunyai ikatan historis dengan NU. Sehingga Ulama NU-lah panutan yang selalu memberikan solusi terobosan ketika PMII membutuhkan petuah dan solusi terutama dalam menjaga identitas Nahdlatul Ulama dikalangan mahasiswa.