Oleh: Arbani (Ketua Rayon Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin Periode 2019-2020)
Ada hal menarik ketika berbicara PMII Komisariat Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalimantan Selatan (Kalsel). Ini menyangkut salah pola kaderisasnya. Meski terbilang masih muda, ada hal yang kiranya perlu diketahui dan penting untuk direfleksikan oleh segenap kader pergerakan, khususnya yang ada di Kalsel. Dalam suatu forum silaturahmi yang dibarengi dengan diskusi ringan, Ketua Pengurus Komisariat PMII UNU Kalsel periode 2021-2022, sahabat Haris Hidayat mengungkapkan, semasa kepengurusan PMII UNU dinahkodai olehnya, dirinya melarang keras para pengurus dan anggota membuat proposal untuk keperluan mencari dana kegiatan yang dilaksanakan, baik kepada alumni atau pihak lainnya. Dia lebih memprioritaskan agar para kader bergotong royong atau iuran. Pemanfaatan proposal ia perpolehkan ketika anggaran kegiatan sudah tertutupi 70 persen lebih oleh pengurus dan anggota. Itupun masih perlu ia pertimbangkan.
Pola yang diterapkannya itu merupakan adopsi dari pengalamannya yang pernah berproses di salah satu rayon di PMII Jombang, Jawa Timur, sebelum ia berpindah kampus ke UNU Kalsel. Di sana, para pengurus dan anggota dalam mengadakan kegiatan sangat anti untuk memanfaatkan proposal kepada alumni atau pihak luar lainnya. Walaupun demikian, bukan berarti senior di sana pelit atau tidak mampu memberi bantuan. Menurut Haris, senior di sana sangat mapan secara perekonomian dan cukup loyal terhadap PMII. Namun pola anti proposal-proposalan ini, sendiri sudah ada menjadi tradisi lama yang terus diwariskan hingga pada akhirnya dirinya pun sempat merasa dan tertarik mengadopsinya untuk keberlangsungan kaderisasi PMII UNU Kalsel.
Lantas apa yang menjadi alasan pola itu diterapkan? Haris tidak menjawab secara jelas. Walau demikian, penulis sangat tertarik dengan pola ini dan mencoba melakukan penalaran kala diskusi itu. Bahkan, mulanya penulis seolah langsung setuju walaupun belum menemukan alasan utuh alasan menerimanya. Oleh karenanya, penalaran pun tetap harus dilakukan agar penerimaan terhadap sesuatu tetap berpijak kepada kerasionalitasan. Sejauh penalaran penulis, pola tersebut di atas memang sangat bagus diterapkan untuk kepentingan kaderisasi dan pergerakan PMII. Setidaknya, ada dua fungsi penting yang dapat dijadikan alasan menerimanya. Pertama, sebagai ajang melatih loyalitas para kader terhadap organisasi. Kedua, sebagai latihan kemandirian organisasi PMII.
Lebih jauh, dalam konteks melatih loyalitas kader, dapat dipahami bahwa dengan memprioritaskan para kader dalam urusan pengadaan dana kegiatan, artinya para kader diuji langsung dalam urusan sejauh mana kecintaan dan kepeduliannya terhadap keberlangsungan jalannya organisasi. Para kader dilatih, untuk rela atau ikhlas berkorban demi kepentingan organisasi yang ia cintai. Kemaunan untuk berkorban ini adalah bukti bahwa dia cinta dan peduli terhadap organisasi. Pengorbanan yang paling penting, salah satunya adalah dalam bentuk materi. Pengorbanan yang lain itu dapat juga berupa tenaga, waktu dan pikiran. Tentu latihan loyalitas ini akan berdampak terhadap nasib diri dan organisasinya di masa yang akan datang. Jika di masa dia aktif secara formal saja sudah rela berkorban, maka memungkinkan di masa yang akan datang tetap ingat dan peduli meskipun tidak aktif lagi secara formal. Dan latihan ini penting dilakukan sejak dini, dari level kepengurusan paling bawah, baik rayon maupun komisariat, untuk mempersiapkan para kader yang loyal ketika berada di level kepengurusan di atasnya.
Berikutnya, ketika bicara konteks latihan kemandirian organisasi, dapatlah kita pahami bahwa kepengurusan PMII tidak bergantung apalagi ketergantungan pada alumni atau pihak lainnya di luar dari kepengurusan tersebut. Meski kemandirian di sini belum seutuhnya mandiri karena masih ada sifat ketergantungan kepada para kader yang ada di dalamnya, namun hal ini tetap membawa dampak yang positif bagi PMII itu sendiri, setidaknya bagi kepengurusan yang menerapkan pola anti proposal-proposalan tadi. Dikatakan demikian, karena dengan tidak bergantung pada pihak luar kepengurusan, artinya kecil kemungkinan kita untuk mudah diintervensi dalam hal pengambilan keputusan, baik itu untuk kepentingan kaderisasi ataupun dalam hal menyikapi berbagai isu sosial politik yang mengharuskan kita turut andil. Kerap kali organisasi mahasiswa tercerabut dari identitasnya akibat ketergantungan terhadap pihak luar kepengurusan baik alumni atau bukan, yang punya kepentingan berkonfrontasi dengan prinsip dan nilai organisasi mahasiswa. Hal ini tentunya, sangat disayangkan jika terjadi pada organisasi sebesar PMII yang memiliki nilai-nilai yang utuh dengan semangat keislaman dan keindonesiaan. Kunci utama agar tidak terkurung dalam perkara ini, adalah dengan mendorong kemandirian organisasi. Latihan itu dapatlah dilakukan dengan pola sebagaimana diterapkan sahabat-sahabat PMII UNU Kalsel di atas.