PMII, Budaya Diskusi dan Hal yang Mesti Diperhatikan

Oleh: Arbani (Ketua Rayon Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin Periode 2019-2020)

Diskusi dan mahasiswa ibarat dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan. Keduanya selalu dikaitkan, diskusi menjadi bagian budaya mahasiswa dan mahasiswa mau-tidak mau harus berdiskusi, paling tidak di ruang kelas pada saat presentasi makalah. Budaya ini juga terpatri pada organisasi bernama PMII. 

Diskusi memang semestinya menjadi bagian budaya di PMII, selain karena kader PMII adalah mahasiswa, juga karena memang kebutuhan kaderisasi untuk meningkatkan pengatahuan dan kapasitas para kader di luar materi perkuliahan. Karena pada pundak para kader PMII dibebankan berbagai tanggung jawab yang memerlukan pengusaan pengatahuan dan kemampuan lebih. Tanggungjawab yang diemban kader biru kuning meliputi tanggung jawab intelektual, tanggung jawab moral, tanggung jawab sosial, serta tanggung jawab spiritual. 

Melalui diskusi para kader PMII dapat membahas fenomena sosial atau keilmuan tertentu. Saling melempar pandangan, beradu argumentasi, sampai pada menarik benang berah dari berbagai argumentasi terkait fenomena yang dibahas. Ini kemudian menjadi modal para kader dalam tataran teori dan praksis dalam menyikapi berbagai fenomena sosial. Para kader kemudian juga dapat menalar ulang segala teori produk hasil diskusi setelah diuji kembali pada tataran praksis, sampai pada penemuan teori baru yang ideal untuk membangun peradaban dan kemanusiaan. 

Terlepas itu semua, hal sangat penting yang mesti diperhatikan berkenaan dengan diskusi adalah berusaha mencari benang merah dan mengikat benang merah atau hasil diskusi itu sendiri dengan menuliskannya atau dengan kata lain harus ada notulensinya. Karena sangat disayangkan kemudian berlama-lama kita berdiskusi, namun tidak ada benang merahnya dan tidak ada catatan akan hasil dari diskusi itu. 

Benang merah dan notulensi begitu penting dalam perdiskusian, untuk memastikan ada produk yang dihasilkan dan terdokumentasi dengan baik. Sehingga hasil diskusi dapat dilihat dan dinalar ulang di lain kesempatan. Selain itu, adanya notulensi adalah sebagai bentuk penghargaan terhadap berbagai upaya penalaran yang dilakukan para peserta diskusi. Sementara kalau tidak ada benang merah diskusi itu hanyalah debat kusir belaka. Dan kalau tidak ada notulensi, maka diskusi itu ibarat perbuatan mubadzir waktu, alias sia-sia.

Berkenaan dengan hal tersebut sangat penting menjadi parhatian dan bahan refleksi para kader. Mengingat, kadang perkara ini kerap dilupakan atau terlupakan oleh kita semua terutama yang berada di level rayon atau komisariat. Setidaknya hal ini dapat dilihat pada acara-acara diskusi di lingkungan cabang PMII, di mana penulis bernaung. Banyak perdiskusian yang tidak selesai atau tidak ada benang merahnya. Lebih parahnya lagi, kadang tidak ada notulensinya sama sekali. 

Hal tersebut tentunya sangat disayangkan dan tidak patut terus dibiarkan terulang. Tentu kita percaya, bahwa sejarah kelam tidak untuk dilupakan, melainkan jadikan bahan pertimbangan untuk mengarungi kehidupan masa sekarang yang lebih baik serta untuk mempersiapkan kehidupan yang dimasa akan datang yang lebih baik lagi. Artinya, hal tidak baik di masa kelam, tidak untuk dilupakan, namun tidak juga untuk ulang kembali, termasuk lemahnya budaya diskusi yang sampai pada titik benang merah serta melakukan pencatatan terhadap hasil diskusi itu.
Lebih baru Lebih lama