Oleh: Arbani (Ketua Rayon Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin 2019-2020)
Baru saja saya menghadiri sidang (munaqasah) skripsi salah seorang teman sekaligus patner kerja di organisasi mahasiswa pada masanya, saudara Muzamil Wiranto. Dia juga merupakan kader PMII di UIN Antasari Banjarmasin, sama seperti saya.
Tentu, saya sangat senang mendengar kabar dan dapat menghadiri sidang teman saya yang dikenal sebagai qori' tersebut. Dengan selesai sidang skripsi, artinya dia resmi menyandang gelar sarjana. Tentu hal ini sangat patut untuk disyukuri. Terlebih jika dicapai pada waktu yang tepat dengan kesiapan kita untuk menjalankan amanah gelar kesarjanaan tersebut. Harapannya, kemudian, lirik lagu Iwan Fals, 'sarjana muda susah mencari kerja' tidak terjadi pada dia dan kita semua calon sarjana.
Namun, terlepas hal itu, saya teringat akan suatu hal, yakni terkait pandangan PMII terhadap kesarjanaan. Ini tentunya penting untuk diketahui dan direfleksikan oleh Muzamil Wiranto dan kita semua sebagai kader PMII. Karena kita, meski sudah tidak lagi menjadi mahasiswa, namun masih dibebankan akan tanggung jawab sebagai kader PMII.
Mengenai pandangan PMII terkait kesarjaan ini dapat dilihat pada salah satu poin Deklarasi Tawangmangu tentang Pendidikan Nasional. Deklarasi Tawangmangu merupakan hasil dari Muktamar (Kongres) I PMII yang di gelar pada tanggal 23-26 Desember 1961 di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sebuah daerah yang terletak di lereng Gunung Lawu, yang berjarak sekitar 42 km dari Kota Solo.
PMII memandang, kesarjaan merupakan penguasaan mata ilmu apa saja yang mempunyai faedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan, baik ilmu agama, eksakta dan sosial ekonomi.
Artinya, dapat dipahami kesarjanaan bukan perkara gelar semata, tapi lebih dari itu, yakni pengusaaan terhadap ilmu yang membuat kita berhak menyandang gelar tersebut.
Selanjutnya, PMII juga memandang, kesarjanaan itu belumlah dengan sendirinya merupakan nilai yang selesai, bilamana tidak disertai dengan tindakan-tindakan nyata bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak henti-hentinya pada masyarakat.
"Oleh karenanya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menolak keras prinsip ilmu untuk ilmu, dan dengan sendirinya menolak ilmu yang merusak kesejahteraan rohani dan memerosotkan tingkat kehidupan karena menyimpang dari lingkaran tujuan hakiki dan sosialisme Indonesia yang berasaskan ke-Tuhan-an yang Maha Esa, persatuan Indonesia, perikemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Demikian sambungan kalimat salah satu poin Deklarasi Tawangmangu tentang Pendidikan Nasional.
Referensi:
- Ajie Najmuidin. "Tawangmangu, 53 Tahun Silam". (NU Online)
- Joko Priyono. "Transformasi Keempat PMII". (Buku Revolusi: Yogjakarta, 2021)